Monday, 28 February 2011

Harajuku Style





Harajuku style originated among teens on the streets near Harajuku Station in Shibuya, Japan. It may have been brought to many people's attention by American singer Gwen Stefani, but the evolution of the style certainly didn't begin with her and it certainly won't end with her. Like many "street fashions" it is difficult to characterize, both because it is constantly changing and because it has many manifestations. There is no cookie-cutter approach to the style, but if you want to dress in Harajuku style, here are some guidelines to get you started.


Harajuku Style ala Orang Indonesia

Buat teman-teman yang suka sama anime, manga, sushi, ah pokoknya semua yang serba berbau jepang, kayaknya udah tidak asing lagi sama istilah Harajuku Style. Kalau saya perhatikan di Indonesia sendiri, setidaknya sejak saya masih SMA, tren ini makin hari makin booming. Terbukti, makin lama makin banyak saja acara dan event di berbagai tempat yang menggunakan tema serba jepang. Mulai dari cosplay festival, bunkasai matsuri, berbagai lomba menggambar manga, lomba shodo, festival band musik J-Pop & J-Rock, dll. Setidaknya dari kota tempat saya tinggal saja, di Bandung, pengaruh penyebaran pop culture dari Jepang ini semakin marak. Hampir setiap SMA di Bandung waktu itu bisa dipastikan punya organisasi ekstra kurikuler yang kegiatannya melakukan hal-hal berbau jepang tersebut. Anggota-anggotanya biasa berkumpul di tempat mereka masing-masing atau membuat suatu komunitas untuk menyalurkan hobi-hobi mereka. Hal ini pun nampaknya makin didukung dengan berbagai pelaksanaan event penyaluran hobi mereka. Bagi yang suka tampil memerankan tokoh anime pujaan mereka, biasanya mereka aktif ikut dalam setiap lomba cosplay yang diadakan di mall-mall atau sekolah-sekolah. Bagi yang suka menggambar manga, sudah siap pula ajang untuk penyaluran bakat mereka. Satu lagi bagian pop culture impor dari negeri para samurai yang ramai digemari anak-anak muda di Indonesia saat ini adalah Harajuku Style. Konon gaya serba boleh di harajuku ini sudah banyak diadopsi sama remaja kita, sebagai bagian dari usaha jual tampang dan ngobral sensasi. Harajuku Style di mata anak-anak remaja Indonesia pengertiannya adalah gaya berbusana yang aneh, nyentrik, dan serba ngejreng. Padahal sebenarnya Harajuku adalah sebutan populer untuk kawasan di sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Kawasan ini terkenal sebagai tempat anak-anak muda berkumpul. Lokasinya mencakup sekitar Meiji Jingu, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita (Takeshita-dori), departement store Laforet, dan Gimnasium Nasional Yoyogi. Harajuku bukan sebutan resmi untuk nama tempat, dan gak dicantumin di buku alamat. Sempat terpikir oleh saya, sebenarnya apa ya yang membuat mereka itu menyebut hal yang seperti itu menjadi bernama Harajuku Style? Saya mengira-ngira mungkin ini erat kaitannya dengan kegiatan yang suka dilakukan di remaja Jepang di daerah Harajuku tersebut. Memang sih, kalau kita jalan-jalan dan melihat kegiatan anak-anak muda Jepang di depan Meiji-jinggu Shrine, tidak jauh dari Harajuku Station, di sana kita bisa melihat cewek-cewek Harajuku dengan dandanan mereka yg aneh-aneh. Rupanya berita ini mungkin saja tersiar sampai ke tanah air yang mungkin disebarkan lewat media atau mungkin juga lewat cerita-cerita orang Indonesia yang pernah tinggal di Jepang lalu kembali ke Indonesia. Konon Harajuku menjadi popular setelah diliput media cetak seperti majalah Anan dan non-no pada saat pembukaan departement store besar-besaran di tahun 1970-an. Busana nyentrik ini diawali oleh gaya pakaian di kedua majalah tersebut. Banyak anak-anak muda Jepang yang doyan jalan-jalan di harajuku, njiplak pola pakaian di majalah itu. Akan tetapi, di balik itu semua, ada beberapa hal yang kalau saya perhatikan ternyata tetap ada perbedaannya juga antara Harajuku Style yang berkembang di Jepang dengan Harajuku Style yang biasa dipraktekkan remaja Indonesia. Kalau di Indonesia, nampaknya mereka tidak seberani remaja jepang dalam mengekspresikan diri lewat Harajuku Style-nya itu. Kenapa saya katakan demikian? Karena sebenarnya kalau saya perhatikan gaya Harajuku Style yang versi Jepang asli itu benar-benar sudah gak mengedepankan lagi etika moral berpakaian. Gaya Harajuku versi Jepang gak hanya sekedar motong rambut jadi gak beraturan dan mengenakan pelindung tubuh yang gokil abis. Tapi ternyata ada beberapa aliran cara berpakaiannya. Sebut saja gothic lolita yang kebanyakan dipakai oleh cewek-cewek Jepang, dengan pola busana elegan, gothic, feminin, dan menjadikan si pemakai seperti boneka bermotif Victoria. Selain itu, ada gaya Japanese punks, yang terinspirasi dari gerakan punk di awal 70-an. Cosplay, membuat diri dan pakaian kita semirip mungkin ama tokoh anime atau karakter game, seperti Naruto atau Bakabon. Decora, dengan ciri khas warna-warna cerah, flamboyan, dan nyentrik. Kawaii, yang artinya lucu atau imut. Tentunya pakaian yang dikenakan juga kudu lucu dan imut. Mungkin berbusana kostum Pokemon kali ya... hehe. Dan wamono, yang merupakan gabungan antara busana Jepang dengan barat. Ya gampangannya kimono ama celana jeans gitu. Sementara kalau Harajuku Style-nya orang Indonesia biasanya mereka masih terbatas pada ekspresi gaya rambut, dan dandanan yang tidak terlalu mencolok (walaupun sudah ketebak kalau itu harajuku style versi pas-pasan). Mereka baru berani berpakaian Harajuku Style yang sebenarnya ketika ada event festival cosplay atau matsuri ala orang Indonesia aja. Sedangkan kalau dalam kesehariannya, saya yakin sefanatik apapun orang itu dengan gaya yang diusungnya, tetap dia tidak akan berani berekspresi seheboh remaja Jepang di depan Meiji-jinggu Shrine deket Harajuku station. Berkaitan dengan hal ini, suatu hari saya pernah iseng bertanya pada seorang teman di Indonesia yang hobi banget ikutan ajang festival pop culture jepang. Waktu itu saya tanya, "berani gak tampil dengan dandanan kayak gini di kehidupan sehari-hari?" Terus dia jawab, "ya nggak lah...". Saya tanya lagi, "alasannya kenapa?" Ternyata dia menjawab, "malu dong...." Lha.... bagus lah kalo masih punya malu. Nah, dari sini bisa kita dapat kesimpulan, kalau pada kenyataannya mereka tetap harus bertubrukan dengan benteng aturan norma masyarakat umum Indonesia yang masih menganggap hal itu aneh. Beda lagi kalo mungkin mereka siap dipanggil orang gila atau preman karena pake dandanan macam begitu, hehe.... Ah... ternyata tidak semua pengaruh budaya itu bisa membawa hal positif. Awalnya saya menganggap diadakannya acara-acara gelar budaya Jepang di Indonesia adalah suatu hal yang positif. Karena alasannya dari sana kita bisa saling mengenal budaya-budaya setiap negara. Selain itu bisa juga membantu kita mempelajari banyak hal yang bermanfaat. Contohnya, dengan ikutan lomba speech kontes bahasa jepang, berarti kan secara tidak langsung kita mengasah dan menguji kemampuan penguasaan bahasa asing kita. Gak semua efek akulturasi budaya itu bisa berbahaya asal masih bisa ditempatkan pada tempat yang semestinya dan tidak berlebihan. Tapi kalau udah nyinggung masalah etika, moral, dan lebih lagi agama, waduh.... mendingan dipikir-pikir lagi dah sebelum melakukannya.








No comments:

Post a Comment